10 October 2014

Sejarah muadzin pertama Bilal bin Robah

Bilal bin Rabah adalah Seorang Budak
yang Beriman Kepada Allah S.W.T
Bilal bin Rabah (Bahasa Arab ﺑﻼﻝ ﺑﻦ ﺭﺑﺎﺡ) adalah seorang budak berkulit hitam dari Habsyah (sekarang Ethiopia). Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam). Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.
Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai
mengumandangkan seruan kalimat
tauhid, Bilal adalah termasuk orang-
orang pertama yang memeluk Islam.
Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah
mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-
orang musyrik yang lebih berat dari
siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah
itu dengan kesabaran yang jarang
sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang-orang Islam seperti Abu Bakar
dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki
keluarga dan suku yang membela
mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari
kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga
orang-orang Quraisy menyiksanya
tanpa belas kasihan. Quraisy ingin
menjadikan penyiksaan atas mereka
sebagai contoh dan pelajaran bagi
setiap orang yang ingin mengikuti
ajaran Muhammad.

Kaum yang tertindas itu disiksa oleh
orang-orang kafir Quraisy yang
berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci maki, kemudian menghunjamkan
tombaknya pada perut Sumayyah
hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.

Sementara itu, saudara-saudara
seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang
Quraisy itu mulai membuka pakaian
orang-orang Islam yang tertindas itu,
lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu
mencambuk tubuh mereka sambil
memaksa mereka mencaci maki
Muhammad.

Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang
menyiksa mereka secara lahir,
sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak
menyiksa Bilal adalah Umayyah bin
Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas,
Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad
….“ Mereka semakin meningkatkan
penyiksaannya, namun Bilal tetap
mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji
Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”

Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa
mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan
menyiksa, sang tiran, Umayyah bin
Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya
kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah1 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati
siksaan yang diterimanya karena
membela ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…,
Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya
tanpa merasa bosan dan lelah.

Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu
‘anhu mengajukan penawaran kepada
Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Seusai transaksi, Umayyah berkata
kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”
Abu Bakar membalas, “Seandainya
engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”

Ketika Abu Bakar memberi tahu
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
bahwa ia telah membeli sekaligus
menyelamatkan Bilal dari cengkeramanpara penyiksanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu
Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.” Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu
menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.” Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam mengizinkan sahabat sahabat nya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di
Madinah, Bilal tinggal satu rumah
dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr.
Malangnya, mereka terkena penyakit
demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih, “Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti ,Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil,
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah ,Akankah aku melihat lagi
pegunungan Syamah dan Thafil”
Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan
perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.
Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini,
ia mencurahkan segenap perhatiannya
untuk menyertai Nabi sekaligus
kekasihnya, Muhammad Shalallahu
‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi. Selalu
bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad.

Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam ibarat bayangan yang tidak
pernah lepas dari pemiliknya.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam selesai membangun Masjid
Nabawi di Madinah dan menetapkan
azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang
pertama yang mengumandangkan azan
(muazin) dalam sejarah Islam.
Biasanya, setelah mengumandangkan
azan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati
hayya ‘alashsholaati…(Mari
melaksanakan shalat, mari meraih
keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah,
menghadiahkan tiga tombak pendek
yang termasuk barang-barang paling
istimewa miliknya kepada Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil
satu tombak, sementara sisanya
diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi
hidup, Bilal selalu membawa tombak
pendek itu ke mana-mana. Ia
membawanya dalam kesempatan dua
shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha),
dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid. Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi
wasallam dalam Perang Badar. Ia
menyaksikan dengan mata kepalanya
sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-
Nya dan menolong tentara-Nya. Ia
juga melihat langsung tewasnya para
pembesar Quraisy yang pernah
menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam menaklukkan kota Mekah,
beliau berjalan di depan pasukan
hijaunya bersama ’sang pengumandang
panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat
masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani
oleh tiga orang, yaitu Utsman bin
Thalhah, pembawa kunci Ka’bah,
Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muazin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang
berkumpul di sekitar Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk
orang-orang Quraisy yang baru masuk
Islam saat itu, baik dengan suka hati
maupun terpaksa. Semuanya
menyaksikan pemandangan yang agung
itu. Pada saat-saat yang sangat
bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin
Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk
mengumandangkan kalimat tauhid dari
sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul
Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan
senang hati, lalu mengumandangkan
azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke
arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya.
Tetapi di sisi lain, orang-orang yang
tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam
dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat azan yang dikumandangkan Bilal
sampai pada kalimat, “Asyhadu anna
muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah,
kami tidak menyukai orang yang telah
membunuh orang-orang yang kami
sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya
yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid berkata, “Aku
bersyukur kepada Allah yang telah
memuliakan ayahku dengan tidak
menyaksikan peristiwa hari ini.”
Kebetulan ayahnya meninggal sehari
sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam masuk ke kota Mekah..
Sementara al-Harits bin Hisyam
berkata, “Sungguh malang nasibku,
mengapa aku tidak mati saja sebelum
melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”
AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata,
“Demi Allah, ini musibah yang sangat
besar. Seorang budak bani Jumah
bersuara di atas bangunan ini
(Ka’bah).”
Sementara Abu Sufyan yang berada
dekat mereka hanya berkata, “Aku
tidak mengatakan apa pun, karena
kalau aku membuat pernyataan, walau
hanya satu kalimat, maka pasti akan
sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”

Bilal menjadi muazin tetap selama
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam
hidup. Selama itu pula, Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat
menyukai suara yang saat disiksa
dengan siksaan yang begitu berat di
masa lalu, ia melantunkan kata,
“Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”
Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam mengembuskan nafas
terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya
lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana
tak kuasa menahan tangis, maka
meledaklah suara isak tangis yang
membuat suasana semakin mengharu
biru.

Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu
‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup
mengumandangkan azan selama tiga
hari. Setiap sampai kepada kalimat,
“Asyhadu anna muhammadan
rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah)”, ia
langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu. Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam
sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi,
karena tidak sanggup melakukannya.
Selain itu, Bilal juga meminta izin
kepadanya untuk keluar dari kota
Madinah dengan alasan berjihad di
jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu
untuk mengabulkan permohonan Bilal
sekaligus mengizinkannya keluar dari
kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.” Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku
benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”
Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam wafat.”
Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku
mengabulkannya.” Bilal pergi
meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia
tinggal di daerah Darayya yang
terletak tidak jauh dari kota Damaskus.

Bilal benar-benar tidak mau
mengumandangkan azan hingga
kedatangan Umar ibnul Khaththab ke
wilayah Syam, yang kembali bertemu
dengan Bilal Rodhiallahu ‘anhu setelah
terpisah cukup lama.
Umar sangat merindukan pertemuan
dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya),
“Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”

Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan azan di hadapan
al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika
suara Bilal yang nyaring itu kembali
terdengar mengumandangkan azan,
Umar tidak sanggup menahan
tangisnya, maka iapun menangis
tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh
seluruh sahabat yang hadir hingga
janggut mereka basah dengan air mata.
Suara Bilal membangkitkan segenap
kerinduan mereka kepada masa-masa
kehidupan yang dilewati di Madinah
bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam..BiIal, “pengumandang seruan
langit itu."
Menjelang saat-saat kematiannya, pada
saat itu Bilal berada di Damaskus.
Istrinya berkata “Benar-benar suatu
duka.” Tapi Bilal berkata “Tidak.
Katakanlah: Benar-benar kebahagiaan,
karena besok aku akan menemui
Rasulullah S.A.W. dan para sahabat.”
Dapatkah kalian bayangkan, seberapa
besar imannya? Dia sedang sekarat,
tapi malah merasa senang karena
dengan meninggalkan dunia, maka dia
akan bertemu dengan Rasulullah.
Karena Rasulullah S.A.W. bersabda
“Dunia ini adalah penjara bagi orang-
orang yang beriman, dan surga bagi
orang-orang kafir.”
Kenapa dunia menjadi penjara bagi
orang-orang beriman? Karena dunia
menahan mereka dari bertemu Allah dan Rasul-Nya. Dan surga bagi orang- orang kafir karena hanya inilah yang mereka miliki.

No comments:

Post a Comment

Jangan hanya blogwalking saja ya akhy dan ukhty, tapi tnggalkanlah jejak dengan berkomentar, agar saya bisa berkunjung balik